Surat Cinta
Gadis ini pendiam, tapi dengan lancar mampu menceritakan
semua kisah hidupnya.
Seorang anak buruh bangunan.
Memiliki adek yang mungkin sama harapan dari setiap anak yang
di lahirkan tidak ingin terlahir dengan segala kekurangan.
Kekurangan fisik adeknya itu, dengan matanya yang tidak
normal, bola mata yang terus berputar-putar membuat ibunya malu dan
meninggalkan gadis dan adik bersama bapaknya.
Di usia 9 tahun, keadaan yang mengajarinya untuk bisa
menyelesaikan semua urusan rumah layaknya pekerjaan seorang ibu.
Dari memasak, mencuci, belanja, mengasuh adik.
Harapan untuk sekolah yang tinggi, terpancar di binary matanya.
Hari itu semua siswi SMP menuliskan surat yang akan di sampaikan
ke para wali murid untuk penjengukan di asrama.
Isi surat berisi pesan barang yang ingin mereka titipkan
kepada orang tua untuk di bawa ke asrama. Masakan kesukaan, peralatan sekolah
yang tertinggal, handuk atau uang saku. Surat di foto oleh musrifh, kemudian di
kirim ke nomor orang tua santri.
“Jangan di baca ya ustadzh” ucapnya malu.
“Bagaimana cara tidak di baca, padahal suratnya harus di foto”
Kalimat ini hanya terucap di hati dan diwakili senyuman.
Surat yang cukup singkat, padat dan tiba-tiba ada yang
mengembun.
Pak….
Tasku kenek jaet a? (Tasku bisa di jahit?)
Tasku pedot (Tasku putus)
Ambek ga popo a tumbasno jam? (tidak apa-apa beli jam)
Pak…
Kaus kakuku sing hitam ilang (kaus kakiku yang hitam hilang)
Ga popo a tukokno neh (tidak apa-apa beli lagi?)
Aku pesen kaus kaki neng ustadzah ga popo a? (saya pesan kaos
kaki lagi, tidak apa-apa?)
Tumbasno malkis( tolong belikan malkis)
Padahal masih ada sepasang sepatunya yang rusak, belum masuk
list untuk di tulis buat bapaknya.
Karena sementara suratnya terlalu banyak untuk permintaannya
pada bapak yang hanya buruh bangunan.
Semoga banyak cara Allah untuk memudahkan harapannya.
Dan doakan kami bisa menjadi jembatan mereka meraih semua cita-cita mereka para santriwati.